Komp, Lembaga Keuangan Perbankan

Jumat, 06 April 2012

KLIRING


Christian Adi Nugraha
3EA15 / 10209968
Komp.Lembaga Keu.Perbankan

Kliring adalah jasa penyelesaian utang piutang antar bank dengan cara saling menyerahkan warkat-warkat yang akan dikliringkan di lembaga kliring (penagihan warkat seperti cek atau bilyet giro yang berasal dari dalam kota). Lembaga kliring ini dibentuk dan dikoordinasikan oleh Bank Sentral setiap hari kerja. Peserta kliring adalah bank yang sudah memperoleh izin dan bank sentral.

Tujuan dilaksanakan kliring oleh bank sentral antara lain :

a. Untuk memajukan dan memperlancar lalu lintas pembayaran giral.

b. Agar perhitungan penyelesaian utang piutang dapat dilakukan lebih mudah, aman dan efisien.

Warkat-warkat yang dapat dikliringkan atau diselesaikan di lembaga kliring adalah warkat-warkat yang berasal dari dalam kota seperti :

a. Cek

b. Bilyet giro

c. Wesel bank

d. Surat bukti penerimaan transfer dari luar kota

e. Lalu lintas giral / nota kredit

Perhitungan kliring dilakukan setiap hari, untuk mengetahui apakah bank tersebut menang kliring atau kalah kliring. Bagi bank yabng menang kliring artinya jumlah tagihan warkat kliring melebihi pembayaran warkat. Sebaliknya bagi bank yang kalah kliring justru pembayaran warkat kliring lebih besar dari penerimaan warkat kliringnya.

Kliring sangat dibutuhkan sebab kecepatan dalam dunia perdagangan jauh lebih cepat daripada waktu yang dibutuhkan guna melengkapi pelaksanaan aset transaksi.
Kliring melibatkan manajemen dari paska perdagangan, pra penyelesaian eksposur kredit, guna memastikan bahwa transaksi dagang terselesaikan sesuai dengan aturan pasar, walaupun pembeli maupun penjual menjadi tidak mampu melaksanakan penyelesaian kesepakatannya.
Secara umum kliring melibatkan lembaga keuangan yang memiliki permodalan yang kuat yang dikenal dengan sebutan mitra pengimbang sentral (MPS) atau disebut juga central counterparty . MPS ini menjadi pihak dalam setiap transaksi yang terjadi baik sebagai penjual maupun sebagai pembeli. Dalam hal terjadinya kegagalan penyelesaian atas suatu transaksi maka pelaku pasar menanggung suatu risiko kredit yang distandarisasi dari MPR .


Mitra pengimbang sentral ini dapat melakukan netting transaksi penjualan dan pembelian harian seperti sekuriti selama pelaku pasar hanya memiliki satu mitra pengimbang sentral atas perdagangan yang dilakukannya. Netting ini dikenal sebagai suatu manfaat dari keberadaan mitra pengimbang sentral ini.

Minggu, 01 April 2012

Perkembangan Perbankan di Indonesia


NAMA             : Christian Adi Nugraha
NPM/Kelas    : 10209968 / 3EA15
Mata Kuliah    : Bahasa Indonesia #

BAB I
PENDAHULUAN
Bank adalah sebuah lembaga intermediasi keuangan umumnya didirikan dengan kewenangan untuk menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan menerbitkan promes atau yang dikenal sebagai banknote. Kata bank berasal dari bahasa Italia banca yang berarti tempat penukaran uang. Sedangkan menurut Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tanggal 10 November 1998 tentang perbankan, yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Industri perbankan telah mengalami perubahan besar dalam beberapa tahun terakhir. Industri ini menjadi lebih kompetitif karena deregulasi peraturan. Saat ini, bank memiliki fleksibilitas pada layanan yang mereka tawarkan, lokasi tempat mereka beroperasi, dan tarif yang mereka bayar untuk simpanan deposan. Sejarah perbankan di Indonesia tidak terlepas dari zaman penjajahan Hindia Belanda. Pada masa itu De javasche Bank, NV didirikan di Batavia pada tanggal 24 Januari 1828kemudian menyusul Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij, NV pada tahun 1918 sebagai pemegang monopoli pembelian hasil bumi dalam negeri dan penjualan ke luar negeri serta terdapat beberapa bank yang memegang peranan penting di Hindia Belanda.
Di Indonesia, praktek perbankan sudah tersebar sampai ke pelosok pedesaan. Lembaga keuangan berbentuk bank di Indonesia berupa Bank UmumBank Perkreditan Rakyat(BPR), Bank Umum Syariah, dan juga Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).


BAB II
PEMBAHASAN

            Kondisi dunia perbankan di Indonesia telah mengalami banyak perubahan. Perubahan ini selain disebabkan perkembangan internal dunia perbankan juga tidak terlebas dari pengaruh perkembangan di luar dunia perbankan. Perkembangan faktor-faktor internal dan eksternal perbankan tersebut menyebabkan kondisi perbankan di Indonesia secara umum dapat dikelompokan dalam empat periode. Keempat periode itu adalah:
a.      Kondisi sebelum Deregulasi
Perbankan pada masa ini sangat dipengaruhi oleh berbagai kepentingan ekonomi dan politik dari penguasa, yang dalam hal ini adalah pemerintah. Berikut ini merupakan fungsi utama perbankan pada masa penjajahan adalah:
1)     Memobilisasikan dana dari investor untuk membiayai kebutuhan dana investasi dan modal kerja perusahaan-perusahaan besar milik kolonial.
2)     Memberikan jasa-jasa keuangan kepada perusahaan-perusahaan besar milik kolonial, seperti giro, garansi bank, pemindahan dana dan lain-lain.
3)     Membatu pemindahan dana jasa modal dari wilayah kolonial ke negara penjajah.
4)     Sebagai tempat sementara dari dana hasil pemungutan pajak, baik pajak dari perusahaan-perusahan maupun dari masyarakat pribumi, untuk kemudian dikirim ke negara penjajah.
5)     Mengadminitrasikan anggaran pemerintah untuk membiayai kegiatan pemerintah kolonial.

Berikut ini merupakan fungsi utama perbankan pada masa setelah kemerdekaan sampai dengan sebelum adanya deregulasi adalah:
1)     Memobilisasikan dana dari investor untuk membiayai kebutuhan dana investasi dan modal kerja perusahaan-perusahaan besar milik pemerintah dan swasta.
2)     Memberikan jasa-jasa keuangan kepada perusahaan-perusahaan besar.
3)     Mengadminitrasikan anggaran pemerintah untuk membiayai kegiatan pemerintah.
4)     Meyalurkan dana anggaran untuk membiayai program dan proyek pada sektor-sektor yang ingin dikembangkan pemerintah.

Dan yang selanjutnya adalah keadaan perbankan saat ini, yaitu:
1)     Tidak adanya peraturan perundangan yang mengatur secara jelas tentang perbankan di Indonesia
Hingga akhir tahun 1960-an peraturan menegenai perbankan  hanya Undang-undang Nomor 13 Tahun 1968. Undanng-undang tersebut tidak mengatur sejara jelas mengenai perbankan namun, lebih cenderung memperlihatkan campur tangan pemerintah dalam perbankan di Indonesia.
2)     Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) pada bank-bank tertentu.
KLBI diberikan terutama untuk bank-bank pemerintah ini disalurkan untuk mendanai pemberian kredit kepada debitur  dan dalam hal ini bunga yang harus dibayar oleh bank penerima KLBI relatif rendah.
3)     Bank banyak menanggung program-prorogram pemerintah.
Terutam bank-bank pemerintah memperoleh berbagai macam fasilitas khusus, bank tersebut juga harus menjalankan kegiatan perbankan yang berkaitan dengan program atau proyek pemerintah.
4)     Intrumen pasar uang yang terbatas.
Banyak bank yang menyalurkan dana atau mencari tambahan dana pada saat kekurangan dan tidak dengan cara-cara tradisional yaitu melakukan kredit dan simpanan masyarakat. Bank Indonesia belum secara aktif mendiskontokan berbagai macam surat berharga jangka pendek dan pasar uang pada waktu itu juga belum mengenal SBI, sehingga instrument pasar uang menjadi terbatas.
5)     Jumlah bank swasta yang relatif sedikit.
Dari waktu ke waktu masa itu perkembangan jumlah bank swasta tidak mengalami kenaikan. Bank-bank swasta yang ada umumnya bank-bank kecil. Bank-bank milik pemerintah yang berupa BUMN mendominasi kegiatan perbankan di Indonesia.
6)     Sulitnya pendirian bank baru
Dominasi bank pemerintah yang sangat kuat dengan segala fasilitas dan kemudahannya menyebabkan sulit sekali bagi bank swasta baru untuk masuk dalam persaingan apalagi untuk berkembang menjadi bank yang besar.
7)     Persaingan antarbank yang tidak ketat
Kemudahan-kemudahan sebuah bank banyak diterima oleh bank-bank pemerintah pada masa itu. Kemudahan yang didapatkan dari tahap menghimpun dana sampai dengan penyaluran dana. Hal tersebut membuat posisi bank pemerintah relatif sangat kuat dibandingkan bank-bank swasta, sehingga iklim persaingan sama sekali tidak muncul.  Adanya kebijakan bahwa tingkat bunga simpanan dan pinjaman secara sepihak ditentukan oleh bank sentral semakin menyebabkan tidak adanya iklim persaingan.
8)     Posisi tawar-menawar bank relatif lebih kuat daripada nasabah
Bank seolah-olah tidak merasa membutuhkan nasabah, nasabahlah yang membutuhkan bank. Bank tidak terlalu mememrlukan dana dari masyarakat Karena telah memperoleh dana dengan mudah dari pemerintah dan BUMN.
9)     Prosedur berhubungan dengan bank yang rumit
Karena bank merasa tidak terlalu membutuhkan nasabah, maka bank juga merasa tidak perlu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada nasabahnya. Pelayanan yang diberikan cenderung rumit seperti birokrasi pemerintah dan sebagi efek sampingannya adalah tingkat efisiensi pengelolaan dana yang rendah..
10) Bank bukan merupakan alternatif utama bagi masyarakat luas untuk menyimpan dan meminjam dana.
Prosedur berhubungan dengan bank yang rumit dan lemahnya posisi tawar-menawar nasabah menyebabkan masyarakat kuarang tertarik untuk berhubungan dengan baik. Masyarakat kecil lebih banyak berhubungan dengan pegadaian dan rentenir.
11) Mobilisasi dana lewat perbankan yang sangat rendah
b.      Kondisi sesudah Deregulasi
Tingkat inflasi yang tinggi serta kondisi ekonomi makro secara umum yang tidak bagus terjadi bersamaan dengan kondisi perbankan yang tidak dapat memobilisasikan dana dengan baik. Untuk mengatasi situsi tersebut tidak menguntungkan ini cara yang ditempuh pemerintah pada waktu adalah dengan melakukan serangkaian kebijakan berupa deregulasi di sector rill dan sektor moneter. Kebijakan deregulasi yang telah dilakukan dan terkait dengan perbankan antara lain adalah:
1)     Paket 1 Juni 1983 yang berisi tentang:
a)     Penghapusan pagu kredit dan pembatasan aktiva lain sebagai instrument pengendali Jumlah Uang Beredar (JUB)
b)     Pengurangan KLBI kecuali untuk sektor-sektor tertetu.
c)      Pemberian kebebasan bank untuk menetapkan suku bunga simpanan dan pinjaman kecuali untuk sector-sektor tertentu.
2)     Bank Indonesia sejak 1984 mengeluarkan SBI
3)     Bank Indonesia sejak 1985 mengeluarkan ketentuan perdagangan SBPU dan fasilitas diskonto oleh BI.
4)     Paket 27 Oktober 1988 yang berisi tentang:
a)     Pengerahan dana masyarakat, yang meliputi:
-         Kemudahan pembukaan kantor bank.
-         Kejelasan aturan pendirian bank swasta.
-         Bank dan lembaga keuangan bukan bank bisa menerbitkan sertifikat deposito tanpa memerlukan izin.
-         Semua bank dapat memberikan layanan Tabanas dan tabungan lainnya.
b)        Efisiensi lembaga keungan , yang meliputi:
-         BUMN dan BUMD bukan bank dapat menempatkan sampai dengan 50% dananya pada bank nasional mana pun.
-         Batas maksimum pemberian kredit (BMPK) bagi bank dan lembaga keuangan bukan bank.
c)         Pengendalian kebijakan moneter, yang meliputi:
-         Likuiditas wajib minimum perbankan dan lembaga keungan bukan bank diturunkan dari 15% menjadi 2% dari jumlah dana pihak ketiga.
-         SBI dan SBPU yang semula berjangka waktu 7 hari sekarang ditambah dengan berjangka waktu sampai dengan 6 bulan.
-         Batas maksimum pinjaman antarbank ditiadakan.
d)        Pengembangan pasar modal, yang meliputi:
-         Bunga depisito berjangka dan sertifikat deposito dikenakan pajak penghasilan sebesar 15% agar dunia perbankan mendapatkan perlakuan yang sama dengan pasar modal.
-         Penangguhan pengenaan pajak penghasilan terhadap bunga tabungan.
-         Perluasan modal bank dan lembaga keungan bukan bank dapat dilakukan dengan penjualan saham baru melalui pasar modal di samping peningkatan penyertaan oleh pemegang saham.
5)     Paket 20 Desember 1988 yang berisi tentang:
a)     Aturan penyelenggaraan baru efek oleh swasta.
b)     Alternatif sumber pembiayaan berupa sewa guna usaha, anjak piutang, modal ventura, perdagangan surat berharga, kartu kredit dan pembiayaan konsumen.
c)      Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank dapat melakukan kegiatan perdagangan surat berharga, kartu kredit anjak piutang dan pembiayaan konsumen.
d)     Kesempatan pendirian perusahaan asuransi kerugian, asuransi jiwa, reasuransi, broker asuransi, adjuster asuranis dan aktuaria.
6)     Paket 25 Maret 1989 yang berisi tentang:
a)     Penyempurnaan paket sebelumnya.
b)     Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank dapat memiliki net open position maksimum sebesar 25% dari modal sendiri.
7)     Paket 29 Januari 1990 yang berisi tentang penyempurnaan program perkreditan kepada usaha kecil agar dilakukan secara luas oleh semua bank.
8)     Paket 28 Februari 1991 yang berisi tentang penyempurnaan paket sebelumnya menuju penyelenggaraan lembaga keungan dengan prinsip kehati-hatian, sehinggadapat tetep mempertahankan keoercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan.
9)     UU Nomer 7 Tahun 1992 tentang perbankan.
10) Paket 29 Mei 1993 yang berisi tentang penyempurnaan aturan kesehatan bank meliputi:
a)     Rasio kecukupan modal
b)     Batas maksimum pemberian kredit (BMPK)
c)      Kredit Usaha Kecil (KUK)
d)     Pembentukan cadangan piutang
e)     Rasio pinjaman terhadap dana pihak ketiga.


Ciri-ciri perbankan pada masa setelah diregulasi adalah:
1)     Peraturan yang memberikan kepastian hokum.
2)     Jumlah bank swasta bertambah banyak.
3)     Tingkat persaingan bank yang semakin kuat, karena:
a)     Pemberia KLBI untuk kesulitan nonlikuiditas semakin dikurangi.
b)     Bank lebih leluasa menentukan sektor-sektor yang ingin dikembangan.
c)      BUMN bebas menyalurkan 50% penempatan dana ke semua bank nasional.
d)     Bunga bebas ditentukan oleh masing-masing bank.
4)     Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Berharga Pasar Modal. Merupakan salah satu sumber alternatif penghimpun dana dan penyalura dana. Hal tersebut menyebabkan kegiatan perbankan lebih luwes terhadap perubahan situasi.
5)     Kepercayaan masyarakat terhadap bank yang meningkat.
6)     Mobilisasi dana melalui sektor perbankan yang semakin besar.
c.      Kondisi saat krisis ekonomi mulai akhir tahun 1990-an
1)     Tingkat kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap perbankan di Indonesia menurun drastis.
2)     Sebagian besar bank dalam keadaan tidak sehat.
Peraturan kesehatan bank sulit sekali untuk diterapkan dalam kondisi krisis ekonomi ini, sebab apabila aturan diterapkan apa adanya maka sebagian besar bank sudah tidak lagi layak untuk meneruskan kegiatan usahanya.pelanggaran  yang paling menonjol adalah tidak terpenuhinya rasio kecukupan modal dan batas maksimum pemberian kredit.
3)     Adanya spread negatif.
Kepercayaan masyarakat sangat rendah terhadap perbankan serta kebijakan uang ketat oleh otoritas moneter melalui pernaikan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menyebabkan perbankan tidak mempunyai alternative lain umtuk menghimpun dan menyalurkan dana. Konsekuensi dari kebijakan spread negative ini adalah bank harus menanggung rugi dalam kegiatan usaha penghimpunan dan penyaluran dananya
4)     Munculnya penggunaan peraturan perundangan yang baru.
Peraturan dan perundangan baru yang ditetapkan setelah adanya krisis ekonomi ini antara lain adalah:
a)     Undang-undang Nomer 3 Tahun 2004 tentang Perubahaan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
b)     Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
c)      Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
d)     Surat Keputusan Direksi BI Nomor 32/33/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum.
e)     Surat Keputusan Direksi BI Nomor 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan prinsip Syariah.
f)        Surat Keputusan Direksi BI Nomor 32/35/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat.
g)     Surat Keputusan Direksi BI Nomor 32/36/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat prinsip Syariah.
h)      Surat Keputusan Direksi BI Nomor 32/37/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Persyaratan dan Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang, Kator Cabang Pembantu, dan Kantor Perwakilan dari Bank Yang Berkedudukan di Luar Negeri.
i)        Surat Keputusan Direksi BI Nomor 32/50/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembelian Saham Bank Umum.
j)        Surat Keputusan Direksi BI Nomor 32/51/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan dab Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akusisi Bank Umum.
k)      Surat Keputusan Direksi BI Nomor 32/52/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan dab Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akusisi Bank Perkreditan Rakyat.
l)        Surat Keputusan Direksi BI Nomor 32/53/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank Umum.
m)   Surat Keputusan Direksi BI Nomor 32/53/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank Perkreditan Rakyat.
5)     Jumlah bank menurun.
Kondisi sektor rill yang sanngat lemah, proporsi kredit bermasalah yang semakin besar, dan likuditas yang semakin rendah menyebabkan bank makin lama makin sulit untuk meneruskan usaha.
d.      Kondisi terakhir
Tiga hal penting menandai kondisi terakhir sector perbankan di Indonesia. Ketiga hal tersebut adalah:
1)     Selesainya penyusutan Arsitektur Pernbankan Indonesia (API). Munculnya API ini dipicu oleh adanya krisis perbankan dan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia mulai tahun 1997.
2)     Serangkaian rencana dan komitmen pemerintah, DPR dan Bank Indonesia untuk membentuk atau menyusun:
a)     Lembaga penjamin simpanan
b)     Lembaga pengawas perbankan yang idependen
c)      Otoritas jasa keuangan
3)     Kinerja perbankan yang lebih menunjukan kondisi masa peralihan atau awal masa pemulihan dari krisis ekonomi kea rah kondisi perbankan yang lebih sesuai dengan praktik-praktik perbankan yang lebih baik. Praktik perbankan yang lebih baik ini antara lain mengarah kepada:
a)     Manajemen pengelolaan risiko yang lebih baik.
b)     Struktur perbankan nasonal yang lebih baik.
c)      Penerapan prinsip kehati-hatian yang konsisten.
4)     Penyaluran dana masyarakat kearah yang lebih mencerminkan bank sebagai perantara keuangan dengan tetap berlandaskan prinsip kehati-hatian.







BAB III
PENUTUP
           
Pertumbuhan jumlah bank swasta yang sangat cepat mulai tahun 1980-an ternayata membawa perekonomian Indonesia ke suatu tahapan baru dalam perkembangannya. Perkembangan yang pesat tersebut tampaknya tidak diikuti oleh perkembangan penerapan prinsip kehati-hatian yang seimbang, bahkan istilah tersebut terdengar masih asing sebagai bagian para banker apalagi masyarakat awam pada waktu ini. Bank for Internasioanal Sattlement (BIS) telah lama praktik-praktik perbankan yang dianggap dapat menciptakan dunia perbankan yang efisiensi dan efektif dalam perannya financial intermediary. Menyadari adanya prinsip-prinsip yang telah dirumuskan dalam BIS dan perlunya merancang ulang sector perbankan di Indonesia dalam jangka panjang, otoritas moneter berusaha untuk membuat Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Adanya API, berarti Bank Indonesia serta bertahap berkeinginan untuk menerapkan praktik-praktik terbaik internasioanal yang tercakup dalam 25 Prinsip Pokok Basel untuk pengawasan perbankan yang efektif. Sehingga dalam jangka waktu lima tahun ke depan diharapkan Indonesia telah sejajar dengan Negara-negara lain yang lebih dahulu menerapakan  prinsip-prinsip tersebut.

Sumber :
Tri Erna Setyawati & Dian N. Purnama, 2011, “Makalah Perbankan dan Arsitektur Perbankan di Indonesia”
Dendy Raharjo, “Perkembangan Perbankan di Indonesia”